Keringat
bercucuran ditambah bau anyir yang menyengat di sepanjang jalanan yang panas
dan berdebu. “Hah, panas kali siang ini” gumam Seruni. Sambil membawa tas yang
berisi charger dan baterai cadangan Seruni berjalan menelisik gang-gang sempit
di kota metropolitan Surabaya. Hari-hari
ia lalui sendiri, menyusuri jalanan demi headline news, ya Seruni adalah
salahsatu dari sekian gelintir wartawan yang masih bertahan untuk mencari
berita terkini di tengah-tengah bencana saat ini. Sesekali ia memotret keadaan
yang memilukan yang ditemuinya, seorang ibu yang sedang menggendong balitanya
duduk lemas di emperan toko dengan kaki terbuka dan borok-borok yang
menggerogoti kaki tangannya, tak ketinggalan sesekali terlihat belatung yang muncul
di kakinya. “Apa daya, nggak tega sebenarnya” batin Seruni sambil mengambil
gambar dengan kameranya yang sudah sangat berdebu karena seharian berjalan di
tempat yang kumuh. Seruni memastikan bahwa gambar yang diambil sesuai dengan
permintaan tim redaksi untuk dicetak, sambil memilah Seruni juga merasakan
gatal di kakinya. “Hahh, kenapa pula kakiku ini” tubuh Seruni didapati tidak
mencicipi air di hari ke-7 ini. Dan mungkin Seruni jauh lebih beruntung bisa
mandi “sibin” 7 hari yang lalu karena mendapat jatah air dari perusahaannya.
Mungkin orang-orang yang ditemuinya di jalan, tubuhnya tidak menyentuh air
hampir 3 bulan ini bahkan lebih. Semenjak air ledeng kering 6 bulan terakhir
ini, banyak sekali pemandangan-pemandangan yang memilukan terlihat di depan
mata.
“Rrrggggsrrrr..”
jurigen-jurigen berderet rapi di depan
balai kelurahan, orang-orang berdiri antusias sambil celingak-celingkuk melihat
tanki dari kejauhan seakan benar-benar sudah rindu merasakan nikmatnya air
bersih. Bahan obrolan ringan sudah tak menarik lagi, mereka sibuk dengan borok
yang tak kunjung hilang. Terlihat keringat mengalir menambah rasa gatal. Tak
ada rasa jijik menyelimuti mereka, yang mereka pikirkan hanyalah bisa minum air
segar hari ini. Tak ada yang terpikirkan untuk mandi, bisa minum dan masak
untuk makan sehari-hari sungguh anugerah yang luar biasa.
Seruni
memutuskan kembali ke kamar kosnya yang pengap. Sedikit jepretan sudah cukup
baginya hari ini. Karena entah kenapa cuaca semakin hari semakin panas,
termasuk hari ini seperti matahari bertengger tepat 5 cm di atas kepalanya.
Sungguh panas menyengat hingga harus menyipitkan mata. “Dapat berita baru apa
kau hari ini hei ?” tanya Arang yang duduk di ruang tamu sambil sibuk
membersihkan kakinya yang muncul luka terbuka dengan alkohol. “ Ya seperti
biasa, pemandangannya tak berubah, beberapa jepret cukuplah”. “Sampai kapan
seperti ini ya ? Aww aduh” tanya Arang sambil menjerit karena pinset melukai
kulitnya. “Entahlah, eh ada minum nggak aku haus nih” rengek Seruni. “Ada tapi
ingat jatah, jangan sampai habis, mati kau kalau sampai habis” “Iya iya ndoro
putri” jawab Seruni nyengir sambil bergegas ke dapur. “Hhhhh segernya ya Tuhan,
eh gimana proyekmu ?” tanya Seruni penasaran. “On progress sih, tapi aku juga
nggak tahu lagi selesainya kapan. Profesor udah hampir putus asa menangani ini,
obat borok-borok ini cuma satu air bersih, selama nggak ada air bersih obat
sebanyak apapun nggak bisa menyembuhkan seluruh manusia di bumi ini” jawab
Arang sedikit kesal karena lukanya tak kunjung bersih. “Gue nggak tahu lagi dah
pemerintah juga udah kebingungan nih” tambahnya. “Ahh sudahlah, aku siap-siap
ke lab dulu hari ini pemprov ngasih target banyak banget”
Seruni
membuka mata, melihat arah jam dinding yang kehabisan baterai. Dengan sigap ia
segera meraih smartphone lusuhnya. “Ah, sial udah jam 16.00” gerutunya.
Bergegas ia mengusap wajah dengan tisu basah terakhirnya, ya tisu basah
sekarang menjadi barang yang sangat langka. Dengan tergopoh-gopoh, ia mengirim
artikel beritanya karena batas penyetoran ke editor pukul 16.00. Kemudian ia
mematikan laptopnya, dan seperti biasa ia pergi ke kantor redaksi. Sambil
nunggu ojek online, Seruni tidak pernah melewatkan kebiasaanya yang selalu
melihat berita di semua portal berita online ataupun media sosial. “Aku nggak
bisa bayangin Tuhan, apa yang terjadi nanti” batinnya. Semua portal berita
hanya menayangkan kondisi negeri yang krisis air bersih, banyak kriminalitas
yang terjadi. Pencuriaan air, aksi pukul saat mengantre, bahkan penjual air
yang menaikkan harga tidak masuk akal. Bahan sembako langka, sayur mayur sangat
sulit ditemukan, hanya tersisa makanan pabrikan yang tidak tahu akan menopang
hingga berapa lama.
“Mbak,
ke Jaya Pos ya ?” tanya Pak Ojol mengagetkan Seruni. “Eh iya pak” bergegas naik
dan memakai helm. Seruni melanjutkan membaca berita sembari sesekali melihat
keringat pak ojol yang mengalir di atas borok yang menggerogoti tengkuknya.
“Pak, rame ya?” “Ya gitu mbak, alhamdulillah tapi uangnya langsung cepet abis
mbak, ya begitu” jawab pak ojol sambil mengeraskan suara. “Emangnya nggak
kebagian jatah pemerintah pak ?” “Ya dapet sih mbak, istri saya baru melahirkan
mbak, jadi harus nambah beli air lagi”. Seruni hanya bisa mengangguk dan
sesekali melihat smartphonenya. “Ini pak uangnya, makasih ya”
Seruni
melangkahkan kaki ke dalam kantor redaksi, terlihat semua orang sibuk seperti
biasa karena jam-jam seperti ini sudah harus siap dengan berita apa yang harus
dicetak untuk esok pagi. “Ah, gua udah lelah, lelah melihat pemandangan yang
nggak berubah tiap harinya” gerutu Gio anak Ibukota yang memilih menjadi
wartawan di Surabaya. “Eh lu mau kagak nemenin gue meliput ke daerah yang
namanya kalau nggak salah Kalirama, nah di sana katanya sih ada sumber air
satu-satunya yang masih melimpah airnya” ajak Seruni sambil mengalihkan
pembicaraan Gio. “Daerah mana tuh, baru denger dah”. “Kagak tau sih, kata Pak
Bos lu harus nyebrang dulu ke suatu Pulau terus nyebrang lagi, tau ahh jauh
pokoknya. Tapi emang daerah itu yang sampai sekarang belum ada yang berhasil
meliput” jawan Seruni. “Kenapa emangnya ?” “Ya kan lu tau sendiri sekarang itu
lagi krisis air nih, coba lu bayangin kalau sembarangan orang masuk , di sana
pasti dijaga ketat. Tenang aja semua biaya transportasi dibiayai kantor kok
seperti biasa”. “Yaudah deh gua mau” Seruni dan Gio memutuskan mengambil job
dari redaksi untuk meliput tempat yang sampai saat ini tidak ada yang berhasil
meliputnya karena penjagaan yang ketat.
Seruni
dan Gio sibuk mengecek perlengkapan pribadinya, tak lupa mereka mengecek
kamera, baterai, dan tetek bengek untuk meliput berita. “Udah siap belom ?”
tanya Gio. “Gua sih udah, elu ?” “Eh motor anj*r, belom gua panasin” Gio
bergegas mengeluarkan motor. “Eh kos lu aman ndak ?” tanya Seruni. “Aman dah,
toh juga nggak ada apa-apanya” jawab Gio. “Yaudah gua titip nih laptop gua,
bawa laptop lu aja yak, laptop gua ada dikit masalah nih” “Emm yaudah sinih
sinih” gerutu Gio. Setelah semua siap, mereka berangkat menuju pelabuhan
Tanjung Patih tak lupa whatsapp Bos kalau mereka sudah berangkat. Selama di
perjalanan pemandangan jauh lebih mengerikan, semakin banyak mayat-mayat yang
tak terurus di pinggir jalan. Orang-orang lalu lalang, ada yang duduk lemas,
ada yang menangis sambil merengkuk, ada yang sudah sekarat dengan borok dan
belatungnya. “Oh Tuhan sampai kapan ini berakhir” batin Seruni sambil
menggeser-geser layar smartphonenya, seperti biasa update semua portal berita
online. “Ada berita terkini nih, keenam sumber mata air yang ada udah kering
semu hari ini, otomatis hanya ada satu sumber air tumpuan manusia di negeri
ini, otomatis Kalirama bakal jadi zona merah, nggak bakal ada yang boleh masuk,
kita coba aja”
Perjalanan
yang panjang dilalui Seruni dan Gio, 5 hari 5 malam terombang ambing di atas
ombak. Akhirnya tiba di Pulau yang dituju “Kalirama” akan tetapi begitu
terkejutnya mereka ketika tiba di sana, Kalirama adalah Pulau yang sangat luas
“Sial, Bos nggak ngasih tahu detil tempatnya ?” “Nah, itu Bos nggak ngasih
tahu, biasanya sumber mata air itu letaknya di gunung, kita ke arah gunung aja
gimana sambil kita tanya-tanya penduduk setempat” jawab Seruni. Mereka
menyusuri jalanan yang entah ke mana arahnya, pemandangan yang mereka lihat
sangat berbeda, Pulau itu seakan hanya dihuni beberapa gelintir manusia.
Kendaraan yang sangat jarang terlihat. Rumah-rumah tertutup dan berdebu.
Sedikit sekali manusia yang terlihat hanya beberapa yang mengakut
barang-barang. “Pak, tahu tempatnya sumber air yang ada di sini ?” tanya Seruni
lembut kepada bapak yang sedang merengkuk di “galengan”sawah pinggir jalan. “
Jangan ke sana anak muda, tempat itu hanya jadi impian, yang kau dapati
hanya...” belum menyelesaikan kalimatnya, bapak tua kesakitan hebat dan
akhirnya lemas dan tak tahu nasibnya, buru-buru Seruni dan Gio menjauh.
“Istirahat dulu yuk” ajak Gio. “Gimana ya kita nggak bisa di sini lama-lama,
persediaan makanan kita hanya cukup 5 hari lagi. Gua nggak yakin bisa cepet
nemuin tempat itu apalagi belum meliput beritanya, belum perjalanan pulangnya”
tambah Gio. “Kita pikirin dulu, kalau 3 hari ini nggak menemukan hasil, mau
nggak mau kita harus mencari pasar atau apapun itu untuk stok logistik kita,
atau enggak terpaksa kita pulang, di sini kayak pulau mati” jawab Seruni.
“Eh
gua penasaran dah, kan di sini katanya ada sumber air yang masih melimpah tapi
kok kayak pulau mati gini, emang nggak ada orangnya atau pada ngungsi yak ?”
tanya Gio sambil melihat Seruni yang mengangkat bahunya isyarat tidak tahu apa
yang Gio tanyakan. “Kita cari masjid yuk, buat tempat istirahat kita sementara”
ajak Seruni. Tak jauh dari tempat mereka beranjak terdapat masjid yang cukup
besar yang semua pintunya tertutup. Mereka merebahkan tubuhnya di lantai yang
dingin namun penuh dengan debu. Tiba-tiba ada seorang bapak Tua yang membuat
mereka terperanjat kaget. Bapak tua itu terlihat sangat lemas dan lusuh.
Kemudian Seruni memberikan air dalam botol kecil sisa perjalanan. Setelah bapak
tua itu meminumnya, ia duduk bersandar di tiang teras masjid dan mengibaskan
kausnya yang lusuh, terlihat tubuhnya yang kering dan berdaki. Seruni dan Gio
tak mengeluarkan suara apapun, hanya berpandangan satu sama lain. “Kalian dari
mana nak ? pasti bukan penduduk sini” tanya Bapak Tua. “Iya Pak, kami sedang
mencari ber..” seketika Seruni menyenggol lengan Gio isyarat untuk tidak
melanjutkan jawabannya. “Oh, iya Pak, kami bukan penduduk sini, apa yang
terjadi di sini Pak mengapa sepi sekali ?” tanya Seruni. “ Aku kehilangan anak
istri dan cucu-cucuku, truk besar mengangkut mereka, mereka seperti sapi ternak
yang tak terurus, aku bodoh, aku benci dengan diriku yang lemah” Seruni dan Gio
tidak berkata-kata. Mereka terdiam lama menunggu bapak tua menghabiskan air
matanya. “Beginilah nasib orang yang lemah, kaum yang hanya bisa jadi keset
para elite”. “Apa yang terjadi pak ?” tanya Gio. “Kalian orang baik, jangan ke
sini atau tidak kalian... Aku percaya pada kalian karena kalian memberikanku
air ini” tiba-tiba bapak tua melihat kartu identitas di dada Seruni kemudian
memegangnya. “Kalian wartawan ?” raut wajah bapak tua antusias “Iya Pak” jawab
keduanya dengan ragu. “Sembunyikan identitas kalian, atau kalian akan diangkut
petugas kepar*t itu, banyak sekali wartawan yang hilang tak tahu dibawa ke
mana. Tolong kami, kalian jendela kami untuk mengadu, tolonglah” Tiba-tiba
bapak tua itu merengek pelan sambil berbisik. “Ceritakan Pak, apa yang bisa
kami bantu” tanya Gio. “Di sana, di kaki Gunung Lor ada sumber mata air yang
sangat melimpah, konon sumber itu tidak akan ada habisnya. Aku tidak tahu
kenapa bisa terjadi krisis air di mana-mana dan semenjak itu kami penduduk
pulau ini tidak bisa masuk untuk mengambil air di sana, karena penjagaan ketat.
Alih-alih diberi jatah, penduduk sini sama sekali tidak diberi apapun kami
harus beli, sampai pada akhirnya banyak tewas dan mayatnya juga diangkut tidak
tahu dibawa ke mana, aku juga tidak tahu ke mana istri dan anakku sekarang
berada. Aku dan beberapa lelaki di sini berhasil kabur ketika dikejar saat
ingin mencuri air di sana. Aku ingin dunia tahu apa yang disembunyikan di sana”
Tiba-tiba
ada suara truk yang berderu kencang, bapak tua tersebut langsung lari tanpa
meninggalkan sepatah apapun, begitu juga Seruni dan Gio ikut berlari
bersembunyi hingga suara itu hilang. Mereka berhasil menemukan tempat yang
dituju, bergegas menaiki motor dan mengikuti arah menuju Gunung Lor. Jalanan
begitu sepi, sampai akhirnya tiba ia di gerbang masuk kawasan gunung lor,
mereka memutuskan untuk meninggalkan motornya dan memilih untuk berjalan kaki.
Tak lupa mereka mengambil gambar, video, dan informasi-informasi untuk
dilaporkan ke kantor redaksi. Tak terlihat satu orang pun di sana, mereka
berjalan masuk ke dalam kawasan, bersembunyi, dan menemui sekumpulan orang
berpakaian preman namun memakai topi rimba namun di sampingnya berjejer mobil
mewah yang sedikit berdebu. Seruni dan Gio mendekati dan bersembunyi di balik
gubuk kecil dekat perkumpulan orang tersebut. Hanya gelak tawa yang terdengar.
Kemudian Gio memberanikan diri untuk lebih mendekatkan telinganya. “Rencana
kita berhasil, sumber-sumber itu pasti sudah kering karena alat canggih kita
hahahaha, kita bisa bersulang bir malam ini hahaha” kata laki-laki paruh baya
yang rambutnya tersisir rapi dengan pomade basah disusul gelak tawa terdengar
sangat jelas. Seruni tidak bisa mendengar apa-apa, Gio berlari ke menuju
Seruni. “Kita harus pergi dari sini sekarang, ini direncanakan, ini direncakan,
kabari bos sekarang” “Duarrr...”
tiba-tiba Gio tergeletak. Seruni terpaku, ini bukan akhir. Aku tak tahu, apakah
ini akhir dari segalanya. Ujung pelangi tak bisa ditemukan, tak ada
kebahagiaan. *****